Tinjauan Matematis Bilangan dalam Al-Qur’an dan Fenomena Isra’ Mi’raj
Yunus Tantowi
Jurusan Tadris Matematika, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
Jl. Mayor Sujadi Timur No. 46 Tulungagung
e-mail: yunustantowi5@gmail.com
ABSTRAK
Matematika oleh sebagian orang dianggap sebagai ilmu umum
yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan agama (Al-Qur’an). Anggapan
ini tentu tidak benar dan sudah saatnya dihilangkan karena kenyataannya
Al-Qur’an juga berbicara matematika. Tulisan ini akan mengangkat bukti konkret
bahwa Al-Qur’an berbicara dan memuat hitungan matematis juga memaparkan adanya
struktur matematika yang sangat rinci dan teliti yang sebenarnya sukar
dilakukan atau bahkan ditiru oleh manusia, yaitu mengenai keteraturan jumlah
penyebutan kalimat, kata, bahkan huruf di dalam Al-Qur’an yang mengarah pada
kelipatan bilangan 19. Penjelasan fenomena bilangan 19 dalam tulisan ini lebih
difokuskan pada basmalah dan analisis nilai numeriknya, pada jumlah huruf
surat-surat berinisial, dan pada penyebutan bilangan dalam Al-Qur’an. Sesuatu
fenomena yang menarik dalam Al-Qur‟an berkaitan dengan operasi bilangan adalah
bahwa berdasarkan urutan surat, ternyata Al-Qur’an mengajarkan terlebih dahulu
operasi penjumlahan bilangan satuan, operasi penjumlahan bilangan puluhan,
operasi penjumlahan bilangan ratusan, dan kemudian operasi pengurangan. Suatu
urutan penyajian yang secara matematika sangat tepat. Selain itu tulisan ini
akan menjelaskan suatu fenomena isra’ mi’raj meskipun dengan analisis dan
penghitungan secara matematis maupun dari segi ilmu astronomi akan menghasilkan
sesuatu yang diluar logika manusia.
Kata Kunci: Bilangan, Isra’,
Mi’raj.
PENDAHULUAN
Matematika
merupakan hasil pemikiran dan penalaran manusia yang bertumpu pada logika dan
daya cipta. Ada yang membedakan antara sains dan matematika, dimana matematika
berkembang atas dasar anggapan awal yang disusun oleh matematikawan dan tidak
dipersoalkan lagi kebenarannya. Andalan utama matematika adalah pengenalan dan
pemahaman pola-pola keteraturan dan hubungan-bungan antara berbagai sifat
melalui penyederhanaan permasalahan menjadi intinya yang paling dasar.
Matematika
menempati posisi unik dan istimewa dalam pandangan ilmuwan Muslim. Menurut
Seyyed Hossein Nasr (1976: 75)[1], setiap
pengetahuan pada peradaban Islam khususnya sains Islam mengungkapkan posisi
istimewa matematika dalam tradisi Islam. Terlihat sebagai bukti otentik yakni
pada arsitektur Islam yang sangat geometris dan kristal, seni plastik dan
audisi khususnya puisi dan musik, memperagakan cinta kepada aritmatika dan
simbol bilangan, seni penggunaan bahasa Arab yang menggambarkan bahasa aljabar.
Menurut
Nasr, geometri dan simbol bilangan berhubungan dengan esensi ajaran Islam,
yakni doktrin tentang kesatuan Tuhan (tauhid). Allah Ta’ala adalah Tunggal, hal ini terbukti dari
esensi satu dalam seri bilangan adalah simbol yang paling langsung dan masuk
akal dari sumber Tuhan satu.[2] Banyak
bukti dari karya-karya ilmuwan Muslim yang begitu memuliakan ilmu matematika
seperti yang dikutip oleh Nasr (1976 : 75) dari karya Ikhwan al-shafa, Risalat
al-Jamiah (Damaskus : Saliba, 1949) yang menulis :
Sesungguhnya
bentuk bilangan (the form of numbers) dalam jiwa manusia berkorespondensi
dengan bentuk maujud (the forms of existens) dalam materi (the hyle). Bilangan
adalah contoh dari dunia yang lebih tinggi. Melalui pengetahuan tentangnya,
murid kearifan secara bertahap mengenal sains matematika lainnya, sains alam,
dan metafisika. Ilmu bilangan adalah akar dari ilmu-ilmu, dasar
kebijaksanaan,awal ilmu-ilmu ketuhanan.
Al-Qur’an
ternyata juga berbicara tentang bilangan. Bilangan dalam Al-Qur’an meliputi
bilangan kardinal, ordinal, dan pecahan. Bilangan kardinal secara sederhana
dapat diartikan sebagai bilangan yang menyatakan hasil dari membilang.
Berikut ini adalah contoh bilangan
kardinal.
1,
2, 3, 4, dan 5.
Bilangan ordinal secara sederhana dapat diartikan sebagai bilangan yang
menyatakan urutan. Berikut ini adalah contoh bilangan ordinal:
Pertama, kedua, ketiga, keempat, dan
kelima.
Bilangan pecahan adalah bilangan yang dinyatakan dalam bentuk , b tidak nol dan b bukan
pembagi dari a. Berikut ini adalah contoh bilangan pecahan.
, , , dan .
Bilangan
kardinal yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah bilangan asli atau bilangan
bulat positif. Fakta bahwa Al Qur‟an berbicara tentang bilangan secara tidak
langsung dapat diartikan bahwa Al Qur‟an juga berbicara matematika. Adanya
bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an menuntut setiap orang muslim untuk memahami
bilangan dan sistem bilangan. Pemahaman pada bilangan dan sistem bilangan
beserta operasinya dapat diperoleh dengan
mempelajari matematika. Dengan demikian, Al
Qur’an mengisyaratkan bahwa setiap muslim perlu untuk mempelajari matematika, dan mempelajari matematika dimulai dengan
pemahaman terhadap bilangan-bilangan.[3]
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bilangan dan Operasi Bilangan
Al-Qur’an
menyebutkan sebanyak 38 bilangan berbeda. Ketiga puluh delapan bilangan
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.0
38 Bilangan yang disebutkan dalam Al-Qur’an
No. |
Bilangan |
No. |
Bilangan |
1. |
1 |
20. |
80 |
2. |
2 |
21. |
99 |
3. |
3 |
22. |
100 |
4. |
4 |
23. |
200 |
5. |
5 |
24. |
300 |
6. |
6 |
25. |
1000 |
7. |
7 |
26. |
2000 |
8. |
8 |
27. |
3000 |
9. |
9 |
28. |
5000 |
10. |
10 |
29. |
50000 |
11. |
11 |
30. |
100000 |
12. |
12 |
31. |
|
13. |
19 |
32. |
|
14. |
20 |
33. |
|
15. |
30 |
34. |
|
16. |
40 |
35. |
|
17. |
50 |
36. |
|
18. |
60 |
37. |
|
19. |
70 |
38. |
|
Setelah mengetahui
bahwa Al-Qur’an berbicara mengenai bilangan, maka makna yang dapat ditangkap
adalah bahwa orang muslim harus mengenal bilangan. Tanpa mengenal bilangan,
seorang muslim tidak akan memahami Al-Qur’an dengan baik ketika membaca
ayat-ayat yang berbicara tentang bilangan tersebut.[4]
Selain
berbicara bilangan, ternyata Al-Qur’an juga berbicara tentang operasi hitung
dasar pada bilangan. Operasi hitung dasar pada bilangan yang disebutkan dalam
Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1. Operasi
Penjumlahan
2. Operasi
Pengurangan
3. Operasi
Pembagian
Perhatikan
firman Allah SWT. dalam surat Al-Kahfi ayat 25:
“dan
mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi)”.
Juga
dalam surat Al-‘Ankabut ayat 14:
“dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.
Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim”.
Al-Qur’an telah berbicara dalam tentang
matematika dalam QS. 18: 25 dan QS. 29: 14. Konsep matematika yang disebutkan
dalam dua ayat tersebut adalah
1.
Konsep bilangan,
yaitu bilangan 300, 9, 1000, dan 50;
2.
Operasi penjumlahan,
yaitu 300 + 9; dan
3.
Operasi pengurangan,
yaitu 1000-50.
Makna yang tersirat dibalik 2 ayat tersebut adalah bahwa setiap muslim
perlu memahami tentang bilangan dan operasi bilangan. Bagaimana mungkin seorang
muslim dapat megetahui bahwa nabi Nuh tinggal dengan kaumnya selama 950 tahun,
jika tidak dapat menghitung 1000-50. Bagaimana seorang muslim dapat mengetahui
bahwa Ashabul Kahfi tinggal didalam gua selama 309
tahun, jika tidak dapat menghitung 300 + 9.
Operasi penjumlahan yang disebutkan secara
tersirat dalam Al-Qur’an dapat ditemui pada QS. 7: 142, yaitu bahwa 30 + 10 =
40, dan pada QS. 2: 196 yaitu bahwa 3 + 7 = 10
1.
QS.
2: 196 tersirat makna 3 + 7 = 10
2.
QS.
7: 142 tersirat makna 30 + 10 = 40
3.
QS.
18: 25 disebutkan 300 + 9
4.
QS.
29: 14 disebutkan 1000 – 50.
Jika melihat pada urutan nomor surat dan operasi
yang disebutkan, terlihat bahwa Al-Qur’an pertama kali mengajarkan operasi
penjumlahan dan dimulai dengan penjumlahan bilangan satuan, puluhan, dan
ratusan. Selanjutnya Al-Qur’an mengajarkan operasi pengurangan. Berkaitan
dengan operasi hitung bilangan, ternyata Al-Qur’an tidak berbicara tentang
operasi perkalian. Pada surat Al-An’am ayat 160, Al-Qur’an menjelaskan:
“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan
jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
Ayat tersebut sebenarnya tidak membicarakan operasi perkalian bilangan. Pernyataan
sepuluh kali amalnya tidak dapat dimaknai operasi perkalian bilangan, karena
secara kualitas amal bukan bilangan. Hal ini sama dengan menyatakan dua kali
gunung atau tujuh kali lautan. Jika dilihat secara kuantitasnya saja, maka
pernyataan sepuluh kali amalnya dapat bermakna perkalian bilangan. Sebagai
contoh, jika seseorang membaca dzikir 33 kali maka berdasarkan QS. 6: 160
pahala yang diperoleh sama dengan membaca dzikir 330 kali (33 x 10).
Walaupun Al-Qur’an tidak berbicara operasi
perkalian bilangan secara eksplisit (tegas), ternyata Al-Qur’an memberikan
suatu gambaran yang akan memunculkan operasi perkalian bilangan. Pada surat
al-Baqarah ayat 261, Al-Qur’an menjelaskan:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”.
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa 1 biji akan menumbuhkan 7 batang, dan tiap-tiap
batang terdapat 100 biji. Karena operasi penjumlahan telah disebutkan dalam
Al-Qur’an, maka untuk menentukan keseluruhan biji, seseorang dapat melakukan
dengan cara menghitung:
100
+ 100 + 100 + 100 + 100 + 100 + 100 = 700.
Penjumlahan
100 berulang sebanyak 7 kali sehingga diperoleh 700. Konsep penjumlahan
berulang inilah yang sebenarnya merupakan konsep operasi perkalian bilangan.
Jadi pernyataan
100
+ 100 + 100 + 100 + 100 + 100 + 100 dan 7 x 100 adalah sama. Dengan demikian,
munculnya operasi perkalian bilangan bersumber dari operasi penjumlahan, yaitu
penjumlahan berulang.
Operasi
pembagian dalam Al-Quran diwakili dengan penyebutan bilangan , , , , , , , dan . Bilangan tidak lain
adalah 2 dibagi 3 atau 2 : 3. Operasi pembagian dalam Al-Qur’an sangat
berkaitan dengan masalah pembagian harta warisan (faraidh) dan pembagian harta
rampasan perang (ghanimah).[5]
B.
Bilangan Konstanta Pokok dalam Al-Qur’an
Faktor pembagi dan
sekaligus pengali dalam Al-qur’an yang pertama adalah angka 19 (basmalah) dan angka 7 (QS. Al-Fatihah). Namun
terkadang juga memakai angka-angka 2 (QS. Al-Baqarah 265), dan
10 (QS. Al-an’am). Hanya saja
yang paling sering terpakai adalah angka 19. Mungkin muncul pertanyaan: Mengapa
didalam Al-Qur’an digunakan konstanta 19? Jawabannya: Karena jika dibuat
probabilitas 1/19 merupakan angka yang sulit untuk kemungkinan keluar, ini
menandakan 1/19 itu bukan angka
kebetulan. Begitu juga Al-Qur’an yang dibuat dengan hikmah dan bukan kebetulan.
Faktor-faktor bilangan
dalam Al-Qur’an sebenarnya dapat berfungsi sebagai alat kontrol sejarah
kerasulan Muhammad dan sejarah Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini dapat dilihat
dalam uraian berikut. Basmalah yang disebut sebagai kunci bilangan dan
keseimbangan Al-Quran mengandung 19 huruf, sebagai pintu masuk untuk
mengeksplorasi rahasia bilangan Al-Qur’an.[6]
Kalimah Basmalah terdiri
dari 19 huruf yang nyata. Dari 19 huruf yang nyata tersebut, terdapat susunan 4
kelompok kalimat dan kata yaitu “Bism” (3 huruf), “Allah” (4 huruf),
“ar-Rahmaan” (6 huruf), dan “ar-Rahiim” (6 huruf). Sehingga diperoleh jumlah
huruf dari ke-4 kalimat dan kata yang membangun kalimah Basmalah menjadi 19
huruf.
Jumlah dari 4 kata yang
membangun kalimat “Basmalah” yaitu “Bism”, “Allah”, “ar-Rahmaan”, dan
“ar-Rahiim” ditemukan dengan suatu jumlah yang mengikuti suatu komposisi
perkalian dimana bilangan 19 menjadi faktor pengali yang tetap. Jadi secara
umum berlaku nx19. Hubungan yang berlaku atas fakta-fakta demikian adalah:
·
“Bism” : 1x19 = 19 kali, jadi kata “Bism”
ditemukan sebanyak 19 kali didalam al-Qur’an pada beberapa surat.
·
“Allah” : 142x19 = 2698 kali
·
“ar-Rahmaan” : 3x19 = 57 kali
·
“ar-Rahiim” : 6x19 = 114 kali
Jumlah kata “ar-Rahiim” ditemukan sebanyak 114
kali yaitu sejumlah surat alQur’an. Sebenarnya terdapat 1 kalimat “ar-Rahiim” yang
menjadi kata ke-115 namun kata ini tidak merujuk kepada penyifatan Allah namun
kepada sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yaitu pada QS 9:128.[7]
19 huruf Basmalah
akhirnya menjadi kunci untuk kodefikasi al-Qur’an seperti banyak ditelaah oleh
para ahli tafsir. Bilangan 19 sendiri kalau kita jumlahkan sebenarnya memiliki
angka 10 sebagai suatu bayangan. Jadi, makhluk sebagai bayangan Allah adalah
bayangan dari kalimah Basmalah yang memanifestasikan keinginan Allah untuk
dikenal dengan naungan rahmat dan kasih sayang-Nya yang tidak berkesudahan.
Selain memiliki jumlah huruf sebanyak 19, kalimat tersebut agar dapat berbunyi
”Bismillahirrahmanirrahim” juga membutuhkan 19 tanda: 3 tanda titik (Ba, Nun,
dan Ya’); 3 tanda sukun mati (Sin, Ha, dan Ya’); 3 tanda tasydid (Lam Allah,
Ra’ al-Rahman, dan Ra’ al-Rahim); 4 tanda fathah (Lam. Ra’, Mim, Ra’); dan 6
tanda kasrah (Ba’, Mim, Hha, Nun, Ha’, dan Mim).
Selain fenomena bilangan 19 tersebut, basmalah juga
mengisyaratkan adanya fenomena bilangan 10. Hal ini ditandai dengan 10 jenis
huruf yang dimilikinnya; Ba, Sin, Mim, Alif, Lam, Hha, Ra, Ha, Nun, dan Ya’ (ب,س, م, ا, ل, ه, ر, ح, ن, ي). Fenomena 19 dan 10 yang terjadi dalam basmalah ini ternyata
kemudian menjadi faktor ketergantungan 6236 ayat Al-Qur’an secara keseluruhan,
yang ditandai oleh adanya sistem up dan sistem down dalam fawatih al-suwar
(huruf-huruf pembuka surat Al-Qur’an). Inilah yang disebut “Sengaja Bilangan”
dalam Al-Qur’an, bukan sekedar kebetulan jumlah, bilangan, nomor surat, dan
nomor ayatnya sekian dan sekian.
Sistem up atau sistem “menaikkan” maksudnya adalah bahwa
huruf-huruf pembuka surat diberi tanda dan nomor ayat tersendiri. Dalam keseluruhan
Al-Qur’an sistem up ini terjadi dalam 19 surat. Sedangkan sistem down atau
sistem “penurunan” adalah bahwa huruf pembuka surat tidak diberi nomor ayat
tersendiri. Namun digabungkan sebagai satu ayat dengan kalimat lengkap
berikutnya. Hal ini terjadi dalam 10 surat. Ternyata sistem tersebut mengandung
maksud tersembunyi (rahasia) agar terjadi dan terjaganya keseimbangan seluruh
sistem bilangan, penomoran surat dan ayat, dan juga pola bangun dan sistem yang
dikehendaki oleh Al-Qur’an.[8]
Tabel 2.0 19 Sistem Up dalam Al-Qur’an
No. |
Fawatih al-Suwar |
Jumlah Surat |
No./Nama Surat |
1. |
Alif Lam Mim |
6 |
2/al-Baqarah;3/Ali Imran; 29/al-‘Ankabut;
30/ar-Rum;
31/Luqman;
32/as-Sajdah |
2. |
Ha
Mim |
7 |
40/al-Mukmin;
41/Ha Mim Sajdah;
42/asy-Syura;
43/az-Zukhruf;
44/ad-Dukhan;
45/al-Jatsiyah;
46/al-Ahqaf |
3. |
Tha Sin Mim |
2 |
26/as-Syu’ara;
28/al-Qashash |
4. |
Kaf Hha Ya' ‘Ain
Shad |
1 |
19/Maryam |
5. |
Alif Lam Mim Shad |
1 |
7/al-A’raf |
6. |
Tha Hha |
1 |
20/Tha-Hha |
7. |
Ya Sin |
1 |
36/Ya
sin |
Jumlah |
19 |
19
Surat |
Tabel 3.0 10 Sistem Down dalam Al-Qur’an
No. |
Fawatih al-Suwar |
Jumlah Surat |
No./Nama Surat |
1. |
Alif
Lam Ra |
5 |
10/Yunus;
11/Hud;
12/Yusuf; 14/Ibrahim; 15/al-Hijr. |
2. |
Alif
Lam Mim
Ra |
1 |
13/ar-Ra’ad |
3. |
Tha
Sin |
1 |
27/an-Naml |
4. |
Nun |
1 |
68/al-Qalam |
5. |
Shad |
1 |
38/Shad |
6. |
Qaf |
1 |
50/Qaf |
Jumlah |
10 |
10
Surat |
Bilangan 19 sebagai pokok dan utama konstanta dalam Al-Qur’an juga
diketemukan dalam QS. Al-‘Alaq/96 sebagai wahyu yang pertama kali turun. Selain
karena bahwa jumlah ayat seluruhnya dari surat tersebut 19, juga karena jika dalam
basmalah disebutkan asma Allah sebagai wahyu yang turun sesudah al-‘Alaq (QS.
Al-Fatihahnya), maka dalam 5 ayat tersebut diperkenalkan identitas fundamental
Tuhan (Rabbika) yang didahului kata “ism”.
Kata “ism” ini berhubungan dengan perintah membaca (mengawali segala
sesuatu berdasar “bacaan”), agar menggunakan “asma” Tuhan. Sedangkan kata “ism”
yang dalam Al-Qur’an secara keseluruhan juga diulang 19 kali sementara kata
“Allah” sebagai “ism Rabbuka” disebutkan secara menyeluruh dalam Al-Qur’an
diulang sebanyak 2698, yang terdiri dari 1126 bentuk maksur (termasuk
basmalah fatihah), marfu’ 980, dan manshub 592. Angka 2698 ini
berarti = 142 X 19.
Adapun bilangan 142 adalah Allah sendiri dengan segala nama dan sifat; rabb
dan Ilah/Allah (2), asma’ al-husna (99), sifat wajib (20),
mustahil (20), dan jaiz (1), 142 itu merupakan perincian dari asma’
al-a’dzam. Fakta tersebut menunjukkan satu hal, bahwa penyebutan
bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an sekaligus juga menjadi alat kontrol dan
benteng dari sejarah dirinya sendiri, yang dikaruniakan Allah kepada manusia
yang memakai Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Kontrol dan benteng sejarah
tidak langsung diberikan secara kronologis dalam bentuk ilmu sejarah, namun
termuat dalam anugerah berbagai macam ilmu pengetahuan dan praktik keagamaan
kaum muslim. Demikian pula halnya masa diturunkannya Al-Qur’an yang 22 tahun 2
bulan 22 hari, bukanlah kebetulan semata, akan tetapi termasuk dalam sistem
perencanaan bagi Al-qur’an itu sendiri.
Tinjauan sistem kalender dalam hal ini akan dilihat baik dari sistem
qamariyah maupun syamsiah, namun karena ternyata periode kesejarahan kenabian
dan Al-Qur’an lebih dekat ke sistem qamariyah, maka terlebih dahulu perlu
diketahui mengenai sistem kalender ini.
Perlu diperhatikan bahwa penetapan tahun hijriah yang memakai sistem
qamariyah dimulai dari masa hijrahnya Nabi Muhammad adalah permulaan tahunnya,
sementara permulaan bulan tetap memakai sistem yang dipakai oleh masyarakat
Arab yakni bulan pertama adalah bulan Muharram. Sehingga, jika ada fatwa puasa
sunnah Tasu’a dan ‘Asyura dikaitkan dengan kedatangan Nabi di Madinah saat
hijrah pada tanggal 10 Muharram seperti terdapat dalam hadits riwayat Muslim,
jelas sangat rancu, puasanya mungkin benar berhukum sunnah (terkait dengan
berbagai peristiwa tragis maupun upaya salvation Allah terhadap para
Nabi pada hari itu). Tetapi jika alasannya adalah hijrah Nabi adalah salah.
Sebab Nabi hijrah ke Madinah sejak tanggal 1-10 Rabi’ul Awwal, bukan bulan
Muharram. Hadis tentang puasa ‘Asyura terkait dengan hijrah Nabi umumnya ada
pengaruh dan susupan orang-orang Yahudi yang masuk Islam, kemudian mencampurkan
ajaran Nabi dengan ke-yahudiannya.
Para penulis sejarah sepakat bahwa tentang permulaan Muharram sebagai tahun
hijri, diambil dari hijrah Nabi dengan mengundurkan waktunya sekitar dua bulan.
Satu Muharram tahun pertama jatuh pada hari Jum’at 16 Tammuz 933 Seleucis (16
Juli 622 M). Dengan demikian permulaan tahun baru Hijriah dibuat dari bulan
Muharram tahun itu juga. Kalender ini memakai sistem lunar (peredaran bulan
mengelilingi matahari) selama 29,5 hari bulan. Maka setiap 1 bulan hanya
berselang 29 dan 30 hari. Maka berarti merupakan sistem kalender 12 bulan
berdasar peredaran bulan dengan 354 hari setiap tahun. Sedangkan tahun masehi (solar
year) memakai perhitungan 365 hari tahun, dan setiap 4 tahun sekali
(kabisat) 364 hari.[9]
C.
Menyingkap Kecepatan Malaikat pada Peristiwa Isra’ Mi’raj
Untuk mengetahui
kecepatan malaikat, maka tentu menggunakan alat ukur formal astronomi yang
sering dipakai manusia, sehingga memiliki perbandungan yang real.[10]
Selama ini terdapat dua macam sistem kalender bulan yang dipakai. Pertama,
sistem sinodik yang didasarkan atas penampakan semu gerak bulan dan matahari di
bumi, dan ini artinya adalah 1 hari = 24 jam, dan 1 bulan = 29,53059 hari.
Kedua, sistem sedereal yang didasarkan atas pergerakan relatif bulan dan
matahari terhadap bintang dan alam semesta, yakni 1 hari = 86164,0906 detik,
dan 1 bulan = 27, 321661 hari.
Seandainya dibuat
persejajaran, maka waktu tempuh 360⁰ evolusi bulan = 26,92484⁰ revolusi bumi. Jarak ini ditempuh selama 27,321661 hari = 655,71586 jam
yang dinamakan satu bulan sidereal. Maka rumus yang diterapkan adalah
α =
Lintasan yang dibentuk oleh perjalanan bulan berbentuk kurva. Panjang kurva
ini , dimana , dan . Bulan kembali
ke posisi semula tepat pada garis lurus antara matahari dan bumi, periode
inilah yang disebut periode sinodik.
Adapun yang dipakai pada perhitungan mencari Vu (kecepatan malaikat
= kecepatan urusan, sebagaimana dalam QS. Al-Qadr: 1-3) adalah bulan sistem
sidereal. Kecepatan bulan sendiri telah dirumuskan sebagai berikut.
, dimana R =
jari-jari evolusi bulan yang 384264 km itu. Sedangkan T = periode revolusi
bulan = 655,71986 jam. Hasil akhirnya kecepatan bulan km/jam = 3682,07 km/jam.
Kecepatan bulan sesungguhnya terhadap bintang dan alam semesta adalah , dimana . Menurut data
Al-Qur’an surat ke 9 ayat ke 36, 1 tahun = 12 bulan, maka 1000 tahun = 12000
bulan. Oleh sebab itu .
Kecepatan
urusan
Dibulatkan 3
angka dibelakang koma:
. (kecepatan ini
bisa dibandingkan dengan rumus kecepatan dari US National Bureau of Standards:
C = 299.792,4574 + 0,0011 km/detik), dengan demikian maka kecepatan tersebut
lebih cepat dari kecepatan cahaya (C), yang berdasar data The British
National Physical Laboratory: C = 299.792,4590 + 0,0008 km/detik. Oleh
karena itu, dengan kata-kata sederhana, Sang Urusan atau malaikat lebih cepat
sekitar 39 m dengan 86164,0906 detik = 3.360.400 m, jadi kelebihannya adalah 3
juta meter setiap detik.
Data ini jika digabungkan dengan 12 bulan
sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. At-Taubah ayat 36, dimana 1 tahun = 12
bulan, maka 1000 tahun = 12000 bulan. Oleh sebab itu (dari rumus , V = Kecepatan,
t = waktu, L = jarak).
“Dia mengatur urusan dari langit ke
bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah
seribu tahun menurut perhitunganmu”.
Jadi kecepatan Urusan (Vu) = 299.792,499
km/detik adalah lebih cepat dari cahaya, kalau hal ini dibandingkan lagi dengan
ayat “malaikat-malaikat dan Jibril naik
(menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun”. (Al-Ma’arij: 4), maka artinya Ruh dan malaikat lebih
cepat 50 kali kecepatan cahaya, namun belum cukup untuk menggerakkan Nabi
Muhammad dalam perjalanan isra’ mi’raj yang hanya 10 jam, akan tetapi melampaui
7 dimensi langit dengan berbagai gugus galaksi masing-masing menuju sidratul
muntaha, lalu turun kembali ke planet bumi dengan jalan yang sama seperti yang
ditempuh waktu berangkat, artinya yang membawa Nabi Muhammad isra’ mi’raj
bukanlah malaikat atau ruh. Malaikat dan ruh hanya menyertai yang kecepatannya
juga larut dalam dalam kedahsyatan “kecepatan lain”, maka disinilah relevansi
makna “Subhanallah = Maha Penggerak Allah”.
Kalau malaikat yang membawa Nabi
Muhammad SAW., pada peristiwa isra’ mi’raj untuk mencapai pusat galaksi saja ia
memerlukanwaktu 1000 tahun, dan karena kecepatannya hanya 50 kali kecepatan
cahaya, maka jarak dari pinggir galaksi ke pusat galaksi 50.000 tahun cahaya, maka
masih membutuhkan waktu 1000 tahun hanya untuk menempuh jarak satu galaksi.
Pernyataan ini penting agar paham maksud ayat 1 surat ke-17 bahwa “Maha
Penggeraklah Yang telah menjalankan hamba-Nya pada satu malam”. Jadi,
kecepatan isra’ mi’raj Rasulullah yang bersama Malaikat dan Ruh itu degerakkan
oleh “sesuatu” yang sudah tidak bisa dibayangkan, Maha Dahsyat, Maha Penggerak,
inilah esensi momentum pemahaman kata Subhaana = Maha Penggerak.
Makna seperti ini akan semakin kuat
manakala dihubungkan dengan kamus Al-Qur’an lain yang berkaitan dengan kata
“sabh” yang diambil dari kata “subhana” yaitu QS. Az-Zukhruf: 12-13, QS.
Luqman: 29. Kata “Sakhkhara” disini bermakna “edarkan” , “kendaraan” yang
hubungannya kepada “gerak” bukan kepada “suci”.
Itulah sebagian makna isra’ mi’raj Nabi
Muhammad SAW., memberikan gambaran kepada manusia tentang betapa jauhnya langit
ketujuh itu, dan betapa cepatnya perjalanan beliau melintasi jagat raya yang
tidak memakai ukuran formal astronomi manusia. Fenomena itu sekaligus memberikan
gambaran dan pemahaman tentang kalimat “Subhanallah” yang berarti “Maha
Penggerak Allah”. Hal ini penting bagi orang beriman dan berdzikir, karena bila
Subhaana yang ia sebut tanpa makna, maka dzikirnya akan kosong, jika
salah makna akan cacat.
Peristiwa isra’ mi’raj memperbaiki
kesalahan makna itu, tentu harus menerima koreksi dari Al-Qur’an tersebut,
daripada tetap terpaku pada pemahaman dan penafsiran tradisional yang
mengungkung dan tidak mencerahkan. Dengan pemahaman kata “Subhaana” sebagai Sang
Penggerak, maka kemungkinan manusia untuk berm’raj melalui ilmu pengetahuan dan
makrifat menjadi sangat mungkin dan bukan hanya sekedar teori tanpa aplikasi.[11]
SIMPULAN
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an
didesain secara matematis. Apa yang telah diuraikan diatas hanyalah sebagian
kecil bukti tentang desain matematis dari Al-Qur’an dan khusunya tentang sistem
bilangan sebagai desain Al-Qur’an yang dapat disajikan dalam tulisan ini. Al-Qur’an
menyebutkan 38 bilangan berbeda.
Selain itu tulisan ini hanya memfokuskan pada
contoh-contoh seperti bilangan konstanta pokok dalam Al-Qur’an, ayat Al-Qur’an secara
keseluruhan, ditandai oleh adanya sistem up dan sistem down dalam fawatih
al-suwar (huruf-huruf pembuka surat Al-Qur’an). Inilah yang disebut
“Sengaja Bilangan” dalam Al-Qur’an, bukan sekedar kebetulan jumlah, bilangan,
nomor surat, dan nomor ayatnya sekian dan sekian.
Sistem up atau sistem “menaikkan” maksudnya adalah bahwa
huruf-huruf pembuka surat diberi tanda dan nomor ayat tersendiri. Dalam
keseluruhan Al-Qur’an sistem up ini terjadi dalam 19 surat. Sedangkan sistem
down atau sistem “penurunan” adalah bahwa huruf pembuka surat tidak diberi
nomor ayat tersendiri. Namun digabungkan sebagai satu ayat dengan kalimat
lengkap berikutnya. Hal ini terjadi dalam 10 surat. Ternyata sistem tersebut
mengandung maksud tersembunyi (rahasia) agar terjadi dan terjaganya
keseimbangan seluruh sistem bilangan, penomoran surat dan ayat, dan juga pola
bangun dan sistem yang dikehendaki oleh Al-Qur’an.
Peristiwa isra’ mi’raj mengindikasikan bahwa yang membawa Nabi
Muhammad isra’ mi’raj bukanlah malaikat atau ruh. Malaikat dan ruh hanya
menyertai yang kecepatannya juga larut dalam dalam kedahsyatan “kecepatan
lain”, maka disinilah relevansi makna “Subhanallah = Maha Penggerak Allah”.Makna
dari peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW., memberikan gambaran kepada
manusia tentang betapa jauhnya langit ketujuh itu, dan betapa cepatnya
perjalanan beliau melintasi jagat raya yang tidak memakai ukuran formal
astronomi manusia.
Sebagai penutup, semoga tulisan ini
dapat menambah keimanan bagi orang-orang yang beriman, menjadi tes atau ujian
bagi mereka yang belum beriman, dan menghilangkan keragu-raguan bagi mereka
yang hatinya dihinggapi keragu-raguan akan kebenaran Al Qur’an. Allah akan
membiarkan sesat orang-orang yang dikehendakiNya dan memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendakiNya (QS 74:31).
.
DAFTAR RUJUKAN
Abdussakir.
Matematika dalam Al-Qur’an. Malang: UIN-Maliki Press, 2014.
———. “Matematika dan al-Qur’an,” 2005.
Aji, Rizqon Halal Syah. “KHAZANAH SAINS DAN MATEMATIKA
DALAM ISLAM,” no. 95 (2014).
Atmonadi. “Kalimat Basmalah , Tetapan Universal,”
2005.
Heriyanto, Husain. Menggali Nalar Saintifik
Peradaban Islam. Jakarta: Mizan, 2011.
Sholikhin, Muhammad. Mukjizat Matematika Al-Qur’an.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012.
[1]
Husain
Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik
Peradaban Islam (Jakarta: Mizan, 2011). Hal. 219
[2] Rizqon Halal
Syah Aji, “KHAZANAH SAINS DAN MATEMATIKA DALAM ISLAM,” no. 95 (2014).
[3] Abdussakir,
“Matematika dan al-Qur’an,” 2005.
[4]
Abdussakir, Matematika dalam Al-Qur’an (Malang:
UIN-Maliki Press, 2014). Hal. 63-64
[5]
Ibid. hal. 66-72
[6]
Muhammad
Sholikhin, Mukjizat Matematika Al-Qur’an
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012). Hal. 29
[7] Atmonadi,
“Kalimat Basmalah , Tetapan Universal,” 2005.
[8]
Sholikhin, Mukjizat Matematika Al-Qur’an. hal. 31
[9]
Ibid. hal. 35
[10] Ibid. hal. 185
[11]
Ibid. hal. 190
Post a Comment
Post a Comment