Membedakan mana yang termasuk hadits atau khabar atau atsar, seseorang harus mengetahui kedudukan sanad yang menyampaikan matan hadits yang dimaksud, apakah ia bersambung sampai nabi SAW atau tidak.
1. Hadits
Hadits berasal dari bahasa Arab الحديث (al hadits) jamaknya adalah الأحاديث (al ahaadiits). Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya الجديد (al jadiid) yang berarti baru, lawan dari kata القديم (al qadiim) yang berarti lama. Dalam hal ini, semua yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW itu adalah hadits (baru).
Sebagai lawan/ kebalikan dari wahyu Allah (kalam Allah) yang bersifat qadim.[1] Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al Khathib. Beliau mengatakan hadits berarti sesuatu yang baru.[2] Kemudian arti hadits adalah “qarib” (yang dekat), yang belum lama terjadi seperti dalam ungkapan (baru masuk Islam) حديث العهد بالإسلام , khabar (warta) atau sesuatu yang diperbincangkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Dari makna inilah diambil ungkapan “hadits Rasulullah”.
Hadits yang bermakna khabar ini diambil dari kata haddatsa, yuhadditsu, tahdiits, yang bermakna riwayat atau ikhbar (mengabarkan). Maka jika ada ungkapan حدّثنا بحديث اى اخبرنا بحديث “ia mengabarkan sesuatu khabar kepada kita”.
Sedangkan menurut istilah :
a. Hadits menurut pengertian ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu pengertian hadits yang terbatas dan pengertian hadits yang luas.
Pengertian hadits yang terbatas adalah :
ما أضيف الى النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قولا او فعلا او تقريرا او نحوها,
“ ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya/ semisalnya”.
Ta’rif ini mengandung empat unsur yakni perkataan, perbuatan, pernyataan dan sifat-sifat atau keadaan nabi Muhammad SAW yang lain, yang semuanya hanya disandarkan kepada beliau, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
Sementara menurut pengertian hadits yang luas, hadits tidak hanya disandarkan kepada nabi Muhammad SAW, tetapi juga mencakup perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, sehingga dalam hadits ada istilah “marfu’ (yang disandarkan kepada nabi), manqul (yang disandarkan kepada sahabat) dan maqthu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).
b. Hadits menurut pengertian ahli usul yaitu :
اقواله صلّى الله عليه وسلّم و افعاله وتقاريره ممّا يتعلّق به حكم بنا
“ segala perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi yang bersangkut paut dengan hukum”. Maka menurut mereka, tidak termasuk hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum, seperti masalah kebiasaan sehari-hari atau adat istiadat.
2. Sunnah
Sunnah menurut bahasa adalah jalan yang ditempuh baik itu terpuji/ tidak terpuji. Suatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamakan sunnah walaupun tidak baik.
Secara etimologi, sunnah berarti tata cara.[3] Menurut pengarang kitab Lisan Al ‘Arab ___mengutip pendapat Syammar___sunnah pada mulanya berarti cara atau jalan yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan. Dalam kitab Muhtar Al Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau atau perilaku hidup baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[4] Al Tahanuwi juga berpendapat bahwa sunnah menurut etimologi berarti tata cara, baik maupun buruk.[5]
Karena ada perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata sunnah itu.
Sunnah dalam syair-syair Arab ;
1. Penyair Khalid mengartikan sunnah dengan tradisi.
2. Penyair Labid mengartikan sunnah dengan aturan.
3. Penyair Hassan bin Tsabit mengartikan sunnah dengan tradisi/ aturan.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kata “sunnah” sudah dipakai penyair-penyair pada masa Jahiliyah dan Islam, untuk menunjukkan arti___ secara etimologi ___aturan/ tata cara yang dianut, baik tata cara itu terpuji maupun tercela.
Sunnah dalam Al Qur'an Kata sunnah sudah dipakai dalam Al Qur'an untuk arti tata cara dan kebiasaan.
Sunnah dalam sabda Nabi
Contoh sabda Nabi SAW, dari Abu Said, Ata bin Yasar menuturkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda; “Kamu semua niscaya akan mengikuti ‘sunnah’ orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa ...”.[6] Menurut Ibnu Hajar, sunnah di sini maksudnya tata cara.[7]
Nabi bersabda ; “sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga andai mereka memasuki sarang dhab, kamu pasti memasukinya juga”. Nabi bersabda pula; “Barangsiapa mengadakan suatu sunnah (jalan) yang baik, maka ia akan mendapatkan pahala itu dan pahala dari orang lain yang mengerjakannya sampai hari kiamat. Dan barangsiapa mengerjakan suatu sunnah yang buruk, ia akan merasakan dosa dari pekerjaan buruk itu dan dosa dari orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”.
Kata-kata sunnah dari kedua hadits di atas menunjukkan arti jalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pengertian menurut bahasa. Sedangkan sunnah menurut istilah ahli hadits ialah : “segala yang dinukilkan dari nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang terjadi sebelum nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul maupun sesudahnya”.
Mayoritas ahli hadits (Muhaditsiin) menegaskan bahwa sunnah dalam pengertian semacam ini adalah Muradif (sinonim) dengan kata hadits.
Makna inilah yang dimaksud dengan kata ‘sunnah’ dalam sabda nabi Muhammad SAW :
لَقَدْ تَـَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا اِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Sungguh aku telah tinggalkan dua perkara untukmu, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada keduanya yakni kitabullah dan sunnah rasul-Nya”.
Dan
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِىْ وَ سُنَّةَ ألْخُلَفَآءِالرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِىْ
“Berpeganglah kamu erat-erat dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa Al Rasyidiin setelah aku”.
Pengertian lain dari sunnah adalah “syari’ah” seperti yang dimaksud dalam sabda Rasul SAW tentang iman dalam shalat yang berbunyi :
... فَاَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ
“... Kemudian yang paling pandai tentang syari’at”.
Beberapa pendapat para ulama :
1. Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan : “hadits di kala tidak dikaitkan dengan suatu arti, berarti segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, sesudah beliau menjadi nabi, baik perkataannya, pekerjaannya maupun ikrarnya”.
2. Al Imam Al Kamal Ibnu Al Humam mengatakan : “sunnah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi yang berupa perbuatan atau perkataan, sedangkan hadits adalah hanya yang berupa perkataan saja”.
3. Dr. Taufiq : “sunnah menurut bahasa dan istilah ulama salaf ialah khittah (garis kerja) dan jalan yang diikuti. Maka yang dinamai sunnah nabi hanyalah jalan yang beliau praktekkan terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya. Jadi, masih menurut Dr. Taufiq, hadits ialah perkataan (pembicaraan) yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang dan lalu mereka saja yang mengetahuinya, tidak menjadi pegangan atau amalan umum.
Tegasnya, antara sunnah dan hadits ada perbedaan yang tegas. Menamai sunnah dengan hadits adalah istilah dari para ulama’ mutaakhirin belaka. Ahli hadits banyak menggunakan kata hadits, sedangkan ahli ushul fiqih banyak memakai kata sunnah.
3. Khabar
Khabar menurut bahasa ialah “berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain”, atau memberitakan, mengabarkan”.[8]
Sedangkan khabar menurut istilah ahli hadits adalah “segala bentuk berita, baik yang datang dari nabi, sahabat nabi, maupun tabi’in”.
Melihat definisi di atas, maka hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu’ bisa disebut dengan khabar. Dan oleh karena itu pula ada yang berpendapat bahwa khabar adalah segala bentuk berita (warta) yang diterima bukan dari nabi SAW saja. Contoh hadits yang berbunyi :
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَآءِ
“Islam itu mulanya asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing”.
Kalau ditinjau dari definisi bahwa khabar itu mencakup hadits marfu’, maka hadits di atas tadi dianggap khabar, karena meski diriwayatkan oleh imam Muslim dan abi Hurairah r.a, menurut sebagian para ahli hadits, hadits ini dianggap marfu’.
4. Atsar
Adapun atsar menurut bahasa adalah “berkas atau dampak sesuatu”. Atau sesuatu yang diambil, misal doa yang diambil langsung kalimat-kalimatnya dari nabi SAW disebut dengan doa ma’tsur. Contoh doa nabi SAW yang diriwayatkan oleh Annas, r.a :
وعن انس رضي الله عنه قال : كان اكثر دعاء النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم اللّهمّ آتنا فى الدّنيا حسنة و فى الآخرة حسنة وقنا عذاب النّار (متفق عليه )
Dari Anas r.a, ia berkata : doa nabi SAW yang paling banyak (dibaca) adalah “wahai Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (HR. Bukhari Muslim).
Sementara pengertian atsar menurut istilah mayoritas ahli hadits sama dengan khabar dan hadits.
Para Fuqaha’ (ahli Fiqih) menggunakan kata atsar untuk ucapan-ucapan sahabat, tabi’iin, ulama’ salaf dan lain-lain.
Ada yang berpendapat bahwa atsar lebih umum daripada khabar, dengan alasan bahwa atsar mencakup segala berita yang datang dari nabi dan lainnya. Sementara khabar ditujukan kepada berita yang datang dari nabi SAW saja.
Dari uraian di atas, untuk membedakan mana yang termasuk hadits/ khabar/ atsar, seseorang harus mengetahui kedudukan sanad yang menyampaikan matan hadits yang dimaksud, apakah ia bersambung sampai nabi SAW atau tidak. Wallaahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
At Thahhan, Mahmud. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad. Semarang: Dina Utama, 1995.
Azami, M.M. Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Yaqub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hida Karya Agung, 1990.
M. Isa H.A. Salam Bustamin. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Matsna, Moh. Qur’an Hadits. Semarang: Toha Putra, 2004.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadits Sebuah Tawaran Metodologis. Yogyakarta:--, 2003.
Fote Note
[1] Muhammad Subhi Al Salih, ‘Ulumul Al Haddis Wa Mustalahuh (Beirut: Dar Al Fikr, 1989), 4-5.
[2] Ajjaj al Khathib, Usul Al Hadis Wa Mustalahaha (Beirut: Dar Al Fikr, 1975), 26.
[3] Al Qamus Al Muhit Dan Lisan Al ‘Arab; kata “sunan”.
[4] Muhtar Al Shihah: 339.
[5] Kasysyaf Istilahat Al Funun, 703.
[6] Shahih Bukhari, Al Intiba’, 50.
[7] Fath Al Bari , VI : 498.
[8] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 180.
Post a Comment
Post a Comment