-->

Membandingkan Sesuatu yang Tidak Setara dalam Ilmu Mantiq (Logika)

Beberapa hari yang lalu saya greget ingin membahas tentang kesalahan penalaran, atau bahasa kerennya disebut sebagai logical fallacy, yang sering saya temukan di dalam postingan komentar Facebook dari orang-orang yang sedang memperdebatkan suatu perkara. Contoh dari kesalahan penalaran seperti ini,
Premis Minor: Ibu saya Penyayang
Premis Mayor: (Maha) Penyayang adalah Sifat Tuhan
Konklusi: Ibu saya memiliki sifat Tuhan
Pernyataan ini jelas salah, kenapa? salah satu sebabnya adalah karena dia membandingkan sesuatu dengan sesuatu lain yang tidak setara, sebab “Tuhan” dan “Ibu saya” itu tidak bisa kita bandingkan. Karenanya jika ingin berpikir logis, maka kita harus menggunakan analogi yang setara. Nah di dalam ilmu Mantiq (logika), kesalahan penalaran seperti ini disebut sebagai mughalathath. Berbekal sedikitnya ilmu Pesantren yang saya miliki, saya ingin membahas sedikit tentang kesalahan penalaran dan juga bagaimana cara membandingkan sesuatu dengan sesuatu lain yang benar dan sesuai kaidah dalam ilmu Mantiq.
logical-fallacies
Sumber: education.cu-portland.edu
Kesalahan penalaran dapat disebabkan dari pemilihan terminologi yang salah, adapun kesalahan relevansi juga bisa diakibatkan dari pemilihan premis yang tidak tepat, atau pengambilan kesimpulan yang salah. Salah satu kesalahan yang sering dilakukan adalah dalam membandingkan sesuatu yang tidak setara. Di dalam bahasa Arab, kita mengenal istilah Qiyas (silogisme), yang artinya menyamakanmengukur atau membandingkan. Seperti kita membandingkan rasa dari nasi goreng yang dimasak oleh si A, dan nasi goreng yang dimasak oleh si B. Kita bisa membandingkan kedua hal tersebut karena memiliki bahan dasar makanan yang sama, dapur yang sama, waktu masak yang sama, dan lain sebagainya. Begitu pun membandingkan sesuatu yang lain, yang harus kita cari kesamaan di antara keduanya.
Kembali lagi ke persoalan Qiyas, sebenarnya ada banyak definisi terkait Qiyas, namun secara umum Qiyas bermakna menetapkan hukum suatu kejadian yang tidak ada dasar nashnya (lafadz yang petunjuknya tegas dengan makna yang dimaksud), dengan cara membandingkannya dengan suatu kejadian lain. Contohnya begini, kita ingin mengetahui hukum haram tidaknya narkotika, karena pada jaman Rasulullah belum ada narkotika dan kita belum tahu bagaimana hukumnya, maka narkotika ini diqiyaskan dengan khamr. Kita bisa membandingkan narkotika dengan khamr, karena memiliki sifat (illat) yang sama, yakni sama-sama memabukkan dan merusak akal. Karenanya dapat ditarik kesimpulan bahwa menggunakan narkotika itu hukumnya haram, sama seperti hukumnya meminum khamr.
Oleh sebab itu, ketika membandingkan dua hal kita harus melihat terlebih dahulu adakah sifat yang sama (illat) dari kedua hal tersebut? Jika tidak ada, maka kita sedang melakukan kesalahan dalam penalaran. Akibatnya kesimpulan yang kita peroleh pun akan salah. Saya beri lagi satu contoh pernyataan yang salah dan sering kita dengar sehari-hari,
“Masih mending saya dong suka shalat walau agak telat, daripada dia yang tidak pernah shalat”
Perhatikan bahwa kita sedang membandingkan “orang yang suka shalat” dengan “orang yang tidak pernah shalat”, sehingga ada ketidaksetaraan dalam perbandingan ini dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Karenanya lebih baik kita membandingkan “orang yang suka shalat” dengan “orang yang suka shalat” pula. Jadi pernyataan yang benar harusnya seperti ini,
“Masih mending saya dong suka shalat walau telat 10 menit, daripada dia suka shalat tapi telatnya 1 jam”
Nah pernyataan ini baru setara. Karenanya untuk menghindari adanya kesalahan dalam berpikir, kita harus bersikap kritis dalam setiap argumen yang orang lain lontarkan, juga pentingnya kemampuan berbahasa agar dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dalam berargumen.

Wallohu’alam Bishawab.


Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter